ASPEK SOSIAL-BUDAYA DALAM LEGENDA JAKA SANGKRIB*

Oleh: Suseno

ABSTRAK

Legenda sebagai salah satu bagian dari kajian sastra lisan yang masih dalam wilayah keilmuan folklor, adalah cerita yang berisi kisah-kisah kehidupan yang terjadi pada suatu tempat tertentu pada kurun waktu tertentu. Kisah-kisah yang ada dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita.
Penelitian terhadap legenda Jaka Sangkrib ini bertujuan mendeskripsikan aspek sosial dan nilai budaya yang terdapat di dalamnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan menampilkan data kemudian menguraikan analisisnya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. Teknik penyajiannya dengan menggunakan metode deskriptif pula. Penelitian ini menghasilkan temuan adanya aspek sosial dalam legenda Jaka Sangkrib. Diantara aspek sosial yang ada adalah hubungan yang kurang harmonis antara raja dengan rakyatnya, serta tindakan kesewenang-wenangan raja pada rakyatnya. Sedang bentuk aspek yang lain adalah hubungan yang kurang harmonis antaranggota warga masyarakat Kademangan Kutowinangun. Hal ini dipicu oleh kondisi sakit yang diderita oleh Jaka Sangkrib yang menderita penyakit gudig yang menjijikan. Selain aspek sosial, beberapa nilai budaya juga ditemukan, antara lain sikap tidak pendendam, sikap mau belajar dan bertapa, sikap sopan dan baik hati, sikap berani menumpas pemberontak, dan sikap menghormati leluhur. Dari temuan tersebut akhirnya dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek sosial seperti disebut di atas dan nilai budaya yang ditemukan telah mewarnai masyarakat yang hidup pada masyarakat Banyumas dan rakyat masa kerajaan Majapahit pemerintahan Sunan Amangkurat I.

Kata Kunci: legenda, cerita rakyat, aspek sosial, nilai budaya

A. PENDAHULUAN
Sastra lisan pada hakikatnya adalah tradisi lisan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu. Keberadaannya diakui bahkan sangat dekat oleh kelompok masyarakat yang memiliki. Dalam sastra lisan isi ceritanya seringkali mengungkapkan keadaan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya. Misalnya berisi gambaran latar sosial suatu masyarakat, sosial budaya kehidupan masyarakat, serta sistem kepercayaan masyarakat. Menggambarkan kisah hidup masyarakat kelas kebanyakan sampai dengan kaum bangsawan atau masyarakat yang berpangkat, miskin dan kaya, profesi, dan masalah sosial kemasyarakatan yang lain.

Penelitian dan pengkajian folklor di Indonesia belum begitu banyak dilakukan, tidak seperti pada penelitian bidang ilmu-ilmu lain. Folklor memang ilmu yang tergolong baru di Indonesia. Masuk dan berkembangnya di Indonesia bisa dikatakan ‘belum lama ini’ dan belum banyak pula yang mendalami. Dalam bidang ini James Danandjaya adalah salah satu nama yang cukup terkenal karena telah banyak melakukan kajian dan mendalami bidang ini.

Folklor dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian lisan, dan (3) folklor bukan lisan. Beberapa bentuk folklor yang tergolong ke dalam jenis folklor lisan antara lain: (a) bahasa rakyat, (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional, (d) sajak dan puisi rakyat, dan (e) cerita prosa rakyat (Danandjaja 1991: 21). Legenda merupakan salah satu jenis sastra lisan yang termasuk dalam kelompok cerita prosa rakyat, di samping ada mite dan dongeng.

Berbicara soal legenda, Danandjaya (1991: 66) mendefinisikan sebagai prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Legenda itu sendiri sering dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history). Akan tetapi, meskipun legenda dianggap sebagai sejarah, keberadaannya tidaklah dianggap suci oleh masyarakat yang memilikinya. Waktu terjadinya peristiwa tersebut masih tergolong baru, karena belum begitu lampau. Di samping itu, isi cerita legenda seringkali berbeda jauh dengan kisah asli atau kisah yang sebenarnya. Keadaan semacam ini sangat mungkin terjadi pada jenis cerita lisan, yaitu keadaan yang disebut dengan distorsi. Sedangkan Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaya 1991: 67) menggolongkan legenda ke dalam empat kelompok, yaitu (a) legenda keagamaan (religious legends), (b) legenda alam gaib (supernatural legends), (c) legenda perseorangan (personal legends), dan (d) legenda setempat (local legends).

Berbeda legenda, mite justru dianggap suci. Salah satu alasan ini adalah karena adanya perbedaan tokoh dan latar terjadinya peristiwa. Legenda dialami oleh manusia dan terjadi di bumi, sementara mite adalah cerita tentang dewa-dewi atau manusia setengah dewa. Sedangkan latar peristiwanya adalah di dunia lain, yaitu dunia yang tidak seperti dunia yang kita kenal saat ini, yang kita tempati saat ini. Peristiwa ini pula terjadi pada waktu yang amat lampau. Sedangkan kalau dongeng adalah prosa yang oleh pendukung dan yang empunya cerita tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Hadirnya cerita rakyat di tengah-tengah masyarakat memiliki peranan yang penting. Salah satu alasannya adalah oleh karena kandungan nilai-nilai sejarah, sosial, dan budayanya. Nilai-nilai inilah yang memberikan gambaran dan pengalaman tersendiri pada masyarakat yang memilikinya. Selain itu, dalam cerita rakyat terkandung ide dan gagasan masyarakat pendukungnya yang disampaikan secara lisan.

Legenda-legenda atau cerita-cerita rakyat yang ada dan hidup di wilayah Banyumas sangatlah beragam. Cerita Jaka Sangkrib adalah salah satu legenda yang hidup di wilayah Kabupaten Kebumen, salah satu wilayah di Karesidenan Banyumas. Banyumas itu sendiri menjangkau beberapa wilayah antara lain Banyumas itu sendiri, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Kebumen.

Cerita Jaka Sangkrib merupakan legenda yang mengisahkan kehidupan Jaka Sangkrib, anak seorang Demang Kutawinangun, yaitu Demang Hanggayuda, yang pergi meninggalkan kerajaan karena ketidaksukaannya dengan cara raja memimpin. Pada saat itu ada masa pasca pemerintahan Sultan Agung. Setelah wafatnya Sultan Agung, pemerintahan Mataram dipegang oleh puteranya, Sunan Amangkurat I. Akan tetapi karena ia memimpin dengan kurang bijaksana, sehingga ia mendapat banyak kecaman dan kurang dicintai oleh rakyatnya.

Jaka Sangkrib adalah salah satu anak dari tujuh bersaudara. Kehidupan Jaka Sangkrib sejak kecil tidak berlalu dengan menyenangkan, seperti yang terjadi pada saudara-saudaranya. Sejak kecil ia telah menderita penyakit kulit, yaitu gudig yang sangat menjijikan. Oleh karena penyakitnya itu, akhirnya ia menjadi di kucilkan dalam pergaulan, baik oleh saudara-saudaranya mapun oleh masyarakat sekitarnya. Demikian orang tuanya yang kurang memberikan perhatian kepadanya. Menghadapi hal tersebut sebenarnya Jaka Sangkrib hampir putus asa. Merasa tidak mendapat tempat yang enak di lingkungannya, akhirnya Jaka Sangkrib memutuskan untuk pergi menginggalkan kampung halamannya. Pada suatu malam ia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Kepergiannya sendiri tanpa tujuan yang psti sebelumnya. Ia terus mengembara dari satu hutan ke hutan yang lain, dari satu dataran ke dataran lainnya. Makan pun ia seadanya, dari buah-buahan dan dedaunan yang ia temui selama perjalanannya. Tanpa disadari lama-kelamaan penyakit gudignya ternyata berangsur pulih, dan kulitnya mulus kembali. Pada akhir pengembaraannya diceritakan bahwa akhirnya Jaka Sangkrib berguru pada seorang kiyai dan kemudian ia menjadi prajurit Mataram, juga atas saran dari kiyai sekaligus gurunya itu.

Dalam kajian ini, ada dua aspek yang dibahas, yaitu (1) aspek sosiologis yang terkandung dalam cerita Jaka Sangkrib dan (2) nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Selain dikaji dari dua aspek ini, sebenarnya cerita Jaka Sangkrib masih dapat dikaji dari aspek lain. Namun kali ini penulis ingin membahas dari dua aspek tersebut.

B. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode yang bekerjanya dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna 2004: 53). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis. Hal ini berfungsi untuk menganalisis dan kemudian mendeskripsikan aspek-aspek sosiologis dan nilai budaya yang terkandung dalam cerita Jaka Sangkrib.

Selain itu, ada dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama adalah pendekatan umum. Pendekatan ini adalah pendekatan yang memandang sastra sebagai hasil dokumentasi sosial. Sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk mencatat sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Kedua adalah pendekatan sosiologis. Hal ini dikarenakan oleh penelitian ini yang bersifat sosiologis, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan ini berusaha mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra. Dalam hal ini, sastra dipandang mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan faktor-faktor sosial dan kultural dalam masyarakat. Sehingga pemahaman terhadap sastra tidak dapat dilepaskan dari aspek sosial dan kebudayaan masyarakat yang melahirkannya (Grebstein dalam Damono 1979: 4).

C. HASIL PENELITIAN
1. Aspek Sosial dalam Cerita Jaka Sangkrib
Sebagaimana disinggung pada bagian pendahuluan tulisan ini, bahwa Cerita Jaka Sangkrib menceritakan bagaimana lika-liku perjalanan hidup seorang anak Demang Kutawinangun yang bernama Jaka Sangkrib. Latar cerita ini adalah Banyumas dan Kerajaan Mataram.

Dengan mencermati cerita Jaka Sangkrib, ternyata bisa ditemukan ada beberapa aspek sosial yang di dalamnya. Aspek tersebut antara lain ketidakharmonisan antara raja dengan rakyatnya. Alkisah, setelah Sultan Agung wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mataram digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I. Ternyata gaya kepemimpinan Sunan Amangkurat I sangat bertolak belakang dengan ayahandanya. Sultan Agung dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana dan sangat perhatian kepada nasib rakyatnya. Akan tetapi tidak demikian adanya dengan puteranya. Sunan Amangkurat I memerintah dengan kurang bijaksana, keras, dan kurang memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan tidak jarak raja bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya. Amangkurat I juga dikenal sebagai raja yang pro atau mendukung dengan VOC.

Selain hal tersebut, intrik-intrik perebutan wanita juga mewarnai cerita kehidupan di dalam kerjaan. Intrik ini terjadi antara Amangkurat I dan puteranya Pangeran Anom yang saling memperebutkan Roro Oyi. Selain konflik perebutan perempuan, intrik lain yang terjadi adalah pembunuhan terhadap Pangeran Alit, adik kandungnya sendiri, karena ia menentang hubungan kakaknya dengan VOC. Ia bahkan bersumpah siapa saja yang menentang kebijakannya akan dibunuh dan dibinasakan.

Oleh karena sifatnya yang demikian itu, mengakibatkan ia tidak disukai oleh rakyat serta sebagian punggawa-punggawa keraton, termasuk dari pamannya sendiri. Masyarakat Mataram kurang simpatik terhadapnya. Hal ini berdampak pada ada banyak warga dan punggawa yang mbalela dan pergi meninggalkan Mataram. Dalam cerita tersebut diceritakan Pangeran Bumidirja—yaitu paman Amangkurat I—pergi meninggalkan kerajaan karena ia telah memperingatkan berkali-kali perihal sikap dan tindakannya itu, tetapi tidak pernah dihiraukan. Akhirnya Pangeran Bumidirja pergi meninggalkan Mataram. Dari sanalah cerita Jaka Sangkrib lahir.

Setelah Sultan Agung wafat, tahta kerajaan Mataram digantikan oleh puteranya yang bernama Sunan Amangkurat I. Raja Baru itu ternyata kurang bijaksana dalam menjalankan tampuk pemerintahan. Pamannya, Pangeran Bumidirja seringkali memperingkatkan agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Namun nasihat itu sama sekali tidak dihiraukannya.

Pada suatu hari, Pangeran Bumidirja memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Ia mengembara sampai ke daerah Bagelen dan akhirnya menetap di daerah Panjer. Di daerah baru itu Pangeran Bumidirja hidup sebagai petani. Agar tidak mudah dikenali ia mengganti namanya menjadi Kyai Bumi.
….

Dari kutipan di atas, secara sosiologis dapat ditangkap bahwa ada hubungan yang tidak harmonis antara raja dengan rakyatnya. Ketidak-harmonisan tersebut dipicu oleh sikap sang raja dalam menjalankan tampuk kepemimpinannya. Dengan kekuasaannya sang raja bertindak kurang bijaksana. Bahkan lebih dari itu tak jarang ia bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya. Tindakan dan sikap raja inilah yang kemudian membuat perasaan tidak nyaman bagi rakyat yang dipimpinnya. Hubungan antara raja dengan rakyatnya pun menjadi tidak harmonis. Salah satu kisah yang diceritakan adalah perginya Pangeran Bumidirja, yang merupakan paman dari raja sendiri (paman dari Sunan Amangkurat I), meninggalkan istana kerajaan. Hal ini menunjukkan adanya konflik atau aspek sosial dalam cerita Jaka Sangkrib tersebut.

Aspek-aspek sosial lain yang muncul dalam cerita Jaka Sangkrib adalah berupa peringatan-peringatan yang diberikan oleh Pangeran Bumidirja, paman Sunan Amangkurat I, raja yang memerintah saat itu, ternyata tidak dihiraukan. Meskipun pamannya telah memperingatkan berulang-kali, tetapi semuanya diabaikan begitu saja. Bentuk-bentuk tidak mau diperingatkan, diberi masukan, dan dikritik, pada orang-orang yang menjadi penentu kebijakan pada suatu wilayah atau kerajaan, ternyata juga telah terjadi sejak beberapa masa yang silam.

Selain aspek-aspek sosiologis di atas, aspek lain yang diceritakan dalam cerita Jaka Sangkrib adalah kisah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Banyumas, yaitu antara anggota masyarakat dengan Jaka Sangkrib. Bukan hanya itu, tetapi juga saudara-saudara dan orang tua Jaka Sangkrib dengan Jaka Sangkrib. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa Jaka Sangkrib sejak kecil telah menderita penyakit gudig yang teramat parah. Oleh karena penyakitnya itu, akhirnya sekujur tubuh Jaka Sangkrib terlihat sangat menjijikan serta menimbulkan bau amis. Dengan kondisi ini, akhirnya seluruh warga masyarakat Kademangan Kutawinangun menjauhinya. Tidak ada yang mau bergaul dengannya. Jangankan bergaul, mendekat saja tidak mau. Semua memandang jijik kepada Jaka Sangkrib. Demikianlah, Jaka Sangkrib menjadi terkucilkan.
Itulah peristiwa sosial yang terjadi pada masyarakat Banyumas kala itu. Oleh karena penyakit yang diderita oleh salah satu anggota masyarakat, justru menjadikan dirinya dikucilkan dari pergaulan.
Selain anggota masyarakat sekitar, dalam cerita tersebut juga dikisahkan bahwa keluarganya atau saudara-saudaranya juga ikut mengucilkan Jaka Sangkrib. Bahkan orang tuanya sendiri sikapnya menjadi berubah kepadanya. Orang tuanya kurang memperhatikan Jaka Sangkrib.

….
Masa kecil Jaka Sangkrib berlalu dengan tidak menyenangkan. Sekujur badannya dipenuhi gudig yang sangat menjijikan. Oleh karena itu kemudian ia dijuluki Jaka Gudig. Bau amis yang keluar dari tubuhnya membuat dirinya dikucilkan dari pergaulan. Tidak seorang pun yang mau mendekati. Begitu juga saudara-saudaranya memandang jijik kepadanya. Orang tuanya pun kurang memperhatikannya. Hal itu membuat Jaka Gudig merasa sedih dan hampir putus asa.
….

Penyakit yang dialami Jaka Sangkrib yang tak kunjung sembuh, apalagi ditambah dengan sikap saudara-saudaranya, sikap orang tuanya, sampai dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadapnya yang terus memandang jijik dan mengucilkannya tentu menjadi beban tersendiri bagi dirinya. Hal itulah yang membuat dirinya sedih dan hampir putus asa.

Cerita ini memberikan gambaran kepada kita bahwa permasalahan sosial, seperti budaya mencibir, mencemooh, sampai dengan mengucilkan orang-orang yang tidak mereka sukai—karena adanya sebab tertentu—juga telah terjadi pada masyarakat Banyumas pada saat itu. Legenda (cerita rakyat) Jaka Sangkrib memberikan gambaran kepada kita bahwa aspek-aspek sosial kemasyarakatan semacam ini telah terjadi sejak masa silam.

2. Nilai Budaya dalam Cerita Jaka Sangkrib
a) Tidak Pendendam
Pada legenda Jaka Sangkrib diceritakan bahwa oleh karena sikap dan perlakuan saudara, orang tua dan para tetangganya sempat akan membuat dirinya putus asa. Penyakit gudig yang tak kunjung sembuh dan berdampak pada dikucilkannya dirinya dari pergaulan membuat dirinya sedih dan bahkan hampir putus asa. Namun demikian, tak sedikitpun tergambar rasa dendam dalam diri Jaka Sangkrib dicertakan di sana. Hal yang ia lakukan adalah pergi meninggalkan keluarga dan kampung halamannya dengan tujuan menghidari cemoohan dan perlakuan tidak enak yang terus bertubi-tubi menimpanya. Ia pergi dengan tujuan menghindari orang-orang yang tidak suka dan jijik pada keadaanya saat itu.
Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan cerita berikut.

….
Sekujur badannya dipenuhi gudig yang sangat menjijikan. Oleh karena itu kemudian ia dijuluki Jaka Gudig. Bau amis yang keluar dari tubuhnya membuat dirinya dikucilkan dari pergaulan. Tidak seorang pun yang mau mendekati. Begitu juga saudara-saudaranya memandang jijik kepadanya. Orang tuanya pun kurang memperhatikannya. Hal itu membuat Jaka Gudig merasa sedih dan hampir putus asa.
Pada suatu malam sunyi senyap membulatkan tekadnya, ia akan pergi entah kemana, meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Ia merasa sudah tidak ada gunanya lagi berada di rumahnya. Tidak ada seorang pun yang mengetahu saat kepergiannya. Ia masuk ke hutan lebat, menuruni tebing yang curam dan mendaki lereng yang penuh semak berduri. Ia sengaja tidak membawa bekal apapun dari rumah. ”Biarlah aku mati kelaparan atau dimangsa oleh binatang buas.” begitu lah pikirnya.
….

Pada penggalan cerita di atas, meskipun Jaka Sangkrib memutuskan pergi oleh karena keputus-asaannya, tidak terlihat adanya sikap yang menggambarkan dendam baik kepada saudaranya atapun kepada masyarakat di sekitarnya yang telah mencemooh, mencibir, dan mengucilkannya. Hal ini tentu memberikan gambaran kepada kita bahwa Jaka Sangkrib memiliki hati yang mulia dan tidak pendendam.

b) Kemauan untuk Berguru dan Bertapa
Berguru dan bertapa adalah salah satu cara untuk mencari pengalaman, pengetahuan, dan membentuk kuatan jiwa atau batin. Dengan berguru kita dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang tentunya dapat memperkaya wawasan. Dengan semakin kaya wawasan, maka akan bisa mempengaruhi kematangan jiwa. Sedangkan bertapa, oleh orang-orang dulu—nenek moyang kita—digunakan sebagai sarana atau cara untuk meditasi, dan menjalani lakon-lakon demi memperoleh sesuatu yang ia inginkan. Dengan bertapa ia akan mendapatkanpengalaman spiritual tersendiri.

Kegiatan berguru dan bertapa juga telah dilakukan oleh masyarakat Banyumas, seperti yang terdapat dalam legenda Jaka Sangkrib. Dalam cerita Jaka Sangkrib diceritakan bahwa Jaka Sangkrib melakukan bertapa sampai dengan berkali-kali. Tapa yang dilakukan pertama adalah yang dilakukan di bawah pohon Benda, di sebuah hutan lebat yang ia lewati. Dalam tapa ini Jaka Sangkrib sampai berpuluh-puluh hari. Di sana diceritakan pada hari yang ke-30, ia dibangunkan oleh seorang wanita. Berikut penggalan ceritanya.

….
Surawijaya memasuki hutan lain yang berlum pernah dijamahnya. Ia di sana berhari-hari lamanya. Pada suatu hari, ia berhenti di bawah sebuah pohon. Pohon benda ndamanya. Surawijaya kemudian bertapa di bawahnya. Pada hari yang ke tiga puluh lima, ia dibangunkan oleh seseorang yang mengaku dirinya bernama Nalagati. ….

Dari cuplikan kisah tersebut terlihat betapa ia bertapa sampai berhari-hari. Bahkan yang membangunkan tapanya bukanlah dari dalam dirinya, tetapi orang lain—dalam kisahnya disebutkan seorang wanita bernama Nalagati yang bermaksud untuk meminta bantuan Jaka Sangkrib untuk mengobati keluarganya.
Tapa yang dilakukan oleh Jaka Sangkrib tidak hanya sekali itu. Setelah selesai dengan tapa yang pertama kemudia ia melanjutkan perjalanan dan melakukan tapa kembali di tempat yang berbeda-beda sampai beberapa kali. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan cerita berikut.

….
Kemudian Surawaijaya melanjutkan pengembaraannya. Ia makukan tapa lagi di tempat yang berbeda-beda. Tempat-tempat yang telah di datangi Surawijaya untuk bertapa adalah sebuah gua di daerah Menganti, Hutan Maos, Gunung Brencong, dan bukit Bulupitu didaerah Kutawinangun.
….

Bertapa ia gunakan sebagai sarana untuk mencari pengalaman-pengalaman batin, mengolah batin atau jiwa, ataupun sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq atau Tuhan. Dengan bertapa kepekaan dan kematangan batin menjadi lebih terbentuk.. Orang dapat menyadari hakikat dirinya sebagai seorang makhluk, sosial dan individual.

Selain melakukan tapa, di dalam cerita tersebut juga dikisahkan kalau Jaka Sangkrib (waktu itu mengganti namanya dengan Surawijaya untuk menyamar) juga mencari pengalaman dengan berguru kepada seorang kyai. Diceritakan bahwa ia berguru pada seorang kyai pimpinan sebuah pondok pesantren yang ada di desa Bojongsari Kebumen, Kyai Amad Yusuf namanya. Dari berguru kepada Kyai Amad Yusuf inilah kemudian Jaka Sangkrib mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman, serta ilmu olah kanuragan.

….
Surawijaya selain melakukan tapa juga mencari pengalaman di pondok pesantren. Ia berguru pada Kyai Amad Yusuf dari desa Bojongsari Kebumen.
….

Dengan bekal keilmuan, pengetahuan, dan pengalamannya itulah akhirnya Jaka Sangkrib disuruh oleh Kyai Amad Yusuf untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit di kerajaan Mataram.

c) Sikap Sopan dan Baik Hati
Jaka Sangkrib diakui sebagai orang baik dan sopan. Salah satu kisah yang menggambarkan hal ini dalam cerita tersebut adalah dari sikap Kyai Amad Yusuf—guru Jaka Sangkrib (pada saat itu Jaka Sangkrib masih menyamar dengan mengganti nama menjadi Surawijaya)—yang sangat menyayangi Jaka Sangkrib dikarenakan sikap Jaka Sangkrib yang sopan, baik, dan sayang pada teman-temannya serta sangat hormat kepada gurunya.
Hal tersebut bisa diketahui dari kutipan berikut.

….
Surawijaya selain melakukan tapa juga mencari pengalaman di pondok pesantren. Ia berguru pada Kyai Amad Yusuf dari desa Bojongsari Kebumen. Kyai tersebut terkenal sebagai seorang yang pandi dan arif. Surawaijaya diterima sebagai murid di pondok pesantren tersebut. Bahkan ia amat disayangi oleh Kyai Amad Yusuf. Kecuali karena kecerdasannya yang melebihi murid-murid lainnya, juga karena kesopanannya.
….

Selain pada kisah tersebut tersebut, kebaikan hati Jaka Sangkrib juga dibuktikan dengan kesediaannya menggugurkan atau menghentikan tapanya dan bersedia mengabulkan permohonan Nalagati (wanita yang membangunkannya dari bertapa) yaitu untuk menolong keluarganya yang sedang tertipa musibah, terkena penyakit lumpuh.

…. Surawijaya kemudian bertapa di bawahnya. Pada hari yang ke tiga puluh lima, ia dibangunkan oleh seseorang yang mengaku dirinya bernama Nalagati. Nalagati memohon kesediaan Surawijaya untuk mengobati keluarganya yang menderita lumpuh…. Ternyata benar, Surawijaya dapat menjadi perantara sembuhnya penyakit lumpuh yang diderita oleh keluarga Nalagati.
….

Dari penggalan kisah tersebut, tersirat bahwa Surawijaya (alias Jaka Sangkrib) bersedia membantu menolong keluarga Nalagati yang menderita kelumpuhan, sampai akhirnya keluarga Nalagati dapat disembuhkan dengan perantara Jaka Sangkrib.

d) Keberanian Menumpas Pemberontakan
Jaka Sangkrib dikenal sebagai sosok yang pemberani. Keberaniannya dapat dilihat salah satunya adalah pada saat Kademangan Kutawinangun mendapat gempuran dari Kademangan Pekacangan. Pada saat itu, Demang Hanggayuda—yaitu Demang Kutawinangun—kewalahan menghadapi serangan musuh. Akhirnya Demang Hanggayuda melarikan diri untuk menyelamatkan diri. Pada saat kondisi semakin genting, Surawijaya (Jaka Sangkrib sendiri) muncul dan dengan gagah berani menerjang dan menerobos prajurit-prajurit dari Kademangan Pekacangan. Prajurit-prajurit tersebut tumbang satu persatu, hingga akhirnya Surawijaya telah berhadapan dengan Demang Pragirawati, yaitu Demang Pekacangan. Selanjutnya terjadi pertarungan sengit antara keduanya. Tanpa ada rasa gentar sedikitpun, Surawijaya terus menyerang Pragirawati. Akhir dari pertarungan itu adalah Pragirawati melarikan diri karena merasa terdesak dan tak kuat menandingi kekuatan Surawijaya. Berikut kutipan ceritanya.

….
Demang Hanggayuda dari Kutawinangun merasa tidak kuasa menahan gempuran dari Kademangan Pekacangan. Demang Hanggayuda terpaksa menyingkir ke lembah Ngabehan untuk menyelamatkan diri. Demi mengetahui peristiwa tersebut, Surawijaya bergegas datang ke Kutawinangun. Ia dengan gagah berani menerjang prajurit-prajurit andalan dari Kademangan Pekacangan. Akhirnya ia berhadapan langsung dengan Demang Prawiragati. Keduanya lalu terlibat dalam pertarungan sengit, masing-masing mengeluarkan jurus-jurus mematikan yang dimiliki. Namun, akhirnya Surawijaya berhasil mengalahkan lawanya. Demang Prawiragati terpaksa melarikan diri dari arena pertempuran.
….

Bukti keberanian lain yang dimiliki oleh Surawijaya (Jaka Sangkrib) adalah pada saat ia menghadapi pasukannya Supena dan Suratma yang berusaha memberontak Banyumas. Dengan kemampuan olah kanuragan yang dimiliki dan tekad keberanian yang ada ia tak gentar menghadapi lawan. Akhirnya ia pun berhasil menumpas pemberontak, dan mengakhiri kemelut yang tengah terjadi di bumi Banyumas. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

…. Dengan mantap ia berangkat ke Banyumas. Akhirnya ia berhasil meringkus Supena dan Suratma. Jaka Sangkrib kemudian diampuni kesalahannya, dibebaskan dari hukuman, dan diangkat menjadi pegawai kerajaan dengan pangkat Mantri Gladag.
….

e) Sikap Menghormati Leluhur
Jaka Sangkrib selain sosok yang baik hati, sopan, dan pemberani, ia juga dikenal sebagai orang yang sangat menghargai leluhurnya.

…. Jaka Sangkrib kemudian diampuni kesalahannya, dibebaskan dari hukuman, dan diangkat menjadi pegawai kerajaan dengan pangkat Mantri Gladag. Ia kemudian bergelar Kyai Hanggawangsa. Meskipun telah menjadi pegawai kerajaan, ia tidak mau menetap di Surakarta, tetapi memilih tinggal di Kutawinangun sebagai tempat kelahirannya.
Jaka Sangkrib atau yang juga dikenal sebagai Tumenggung Arungbinang I adalah orang yang dikenal sangat menghormati leluhurnya. Oleh karena sifatnya itu ia juga disebut dengan julukan Kyai Bumi. ….

Dari penggalan cerita tersebut dapat diketahui bahwa Jaka Sangkrib—yang kemudian bergelar Kyai Hanggawangsa setelah pengangkatannya sebagai Mantri Gladag di Kerajaan Mataram—tidak mau menetap di wilayah Kerajaan Mataram, yaitu di wilayah Surakarta. Akan tetapi ia memilih untuk tinggal di Kutawinangun sebagai tanah kelahirannya. Atas sifatnya itu ia kemudian dijuluki Kyai Bumi. Begitulah akhirnya wilayah tinggalnya diberi nama Kebumian. Dari sanalah kemudian menjadi Kebumen.

D. PENUTUP
Analisis aspek sosial-budaya cerita Jaka Sangkib ini menunjukkan adanya aspek-aspek sosial yang terjadi dan mewarnai kehidupan masyarakat pada masa silam, seperti bentuk-bentuk ketidakharmonisan antara raja dengan rakyatnya dan ketidakharmonisan antaranggota masyarakat yaitu bentuk mengucilkan, mencemooh, dan tidak mau bergaul dengan orang lain yang tidak disukai oleh sebab-sebab tertentu.
Selain aspek sosial, nilai-nilai budaya juga dapat kita peroleh dari cerita Jaka Sangkrib yang berlatar masyarakat Banyumas itu. Nilai-nilai budaya tersebut antara lain: tidak pendendam, kemauan untuk berguru dan bertapa, sikap sopan dan baik hati, keberanian menumpas pemberontak, dan sikap menghormati leluhur.
Cerita rakyat dipercaya sebagai rekaman peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dari rekaman cerita Jaka Sangkrib ini kita menemukan adanya aspek sosial dan nilai budaya yang telah ada sejak masa silam, yaitu masa Kerajaan Majapahit dan masyarakat Banyumas pada masa itu. Sehingga jika kedua hal tersebut masih ada hingga saat ini, bisa jadi itu adalah warisan dari nenek moyang kita dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Depdikbud.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

* tulisan ini dimuat dalam Jurnal Sastra ALAYAKSA Balai Bahasa Semarang, 2005